Pembebasan Diri Melalui Karya




Pada jagad pertwitteran di awal tahun ini, sempat ada trending topic Putri Marino. Saya penasaran, ada apa?
Ternyata ada yang mencuit perihal isi puisi Putri Marino yang telah dibukukan. Intinya, dia mengkritik puisi artis yang selalu menyematkan tagar #poempm pada tulisannya. Namun memang, kritiknya mengundang banyak kontroversi netizen.
Ada yang mengiyakan pendapatnya, karena twitter merupakan media untuk bersuara apapun termasuk misuh-misuh. Jadi sah-sah saja dia mengemukakan pendapatnya. Namun saya melihat lebih banyak netizen yang tidak setuju dengan pendapatnya. Karena memang, puisi tidak dapat dinilai begitu saja dari 'hasilnya'.
Kalau menurut saya, puisi itu merupakan suatu proses yang mengandung metafora personal dari diri sendiri yang mungkin untuk ditujukan kembali kepada dirinya sendiri, atau bisa saja merupakan dialog dirinya kepada Tuhan, semesta, bahkan hal yang tak pernah kita ketahui ada di dunia ini. Hanya penulis yang tahu.

“Semesta, senja, senji mulu!! Hih!!”

Saya pernah melihat kalimat itu, entah di mana. Ya memang, mungkin banyak pembaca jengah dengan isi puisi yang itu-itu saja. Atau dengan kata lain, rasanya terasa cringey. Sah-sah saja, semua kembali kepada selera masing-masing. Mungkin yang memandang hal tersebut cringey memang bukan target pasarnya. Toh, yang suka juga nyatanya cukup banyak. Intinya, yang namanya suatu karya seni tidak pernah bersifat mutlak. Itu merupakan suatu perwujudan ekspresi dan keresahan hati yang dituangkan dalam bentuk rangkaian kata.

Bebaskan diri dalam berkarya, maka dirimu akan bebas dengan sendirinya.

Sekalipun ada aturan tertentu dalam berkarya, biarkanlah proses berkarya tersebut mengalir dengan sendirinya. Soal kritik, bagi saya itu masalah di akhir. Selama itu dapat membangun, justru kritik itu diperlukan. Karena sekalipun dibiarkan mengalir, karya harus dapat mengimbangi waktu dan zaman.
Hal yang salah adalah, berkali-kali membuat suatu karya namun tidak pernah ada perkembangan dan perbaikan jika ada kekurangan untuk menghasilkan sesuatu yang berkualitas. Memang, yang membedakan penilaian suatu karya selain selera adalah kualitas.

Pengalaman Pribadi dalam Proses Berkarya
Saya sendiri senang menulis dan fotografi. Sangat senang. Saya sangat ingat, pada tahun 2018 silam pernah bilang kepada teman terdekat bahkan keluarga bahwa 2018 merupakan tahun terbaik yang pernah saya lewati. Iya, saya seheboh itu menyikapi diri sendiri. Rasanya terlahir kembali.
Tidak, tidak ada hari spesial seperti perayaan besar, menang undian, atau apapun itu pada tahun tersebut.

Tapi tahun tersebut merupakan tahun dimana saya menemukan diri sendiri. Saya tahu apa yang saya mau, suka, dan saya menemukan itu di tahun 2018.
Menulis dan fotografi. Itu yang membuat saya sampai mendeklarasikan bahwa tahun 2018 adalah tahun terbaik.

Apakah saya senang karena kedua hal tersebut menghasilkan hal bersifat materiil? Tidak. Saya hanya senang akhirnya mendapatkan ruang untuk membebaskan diri yang selama ini terkekang. Pencapaian materiil, itu bonus.

Kekhawatiran Saat Berkarya, Wajarkah?
Saya memiliki beberapa kawan dekat yang sama-sama mempunyai hobi menulis. Lucunya, keresahan yang sering kami bagi satu sama lain dalam berkarya ada di lingkaran pertanyaan yang sama:

“Saya suka menulis, tapi malu untuk mempublikasikannya”
“Bagaimana kalau ada yang tidak suka?”
“Saya mau menulis, tapi saya bukan siapa-siapa”
“Saya menulis hal itu, tapi malu takut ada ahli yang baca dan tulisan saya sangat dangkal”

Iya, hal-hal tersebut sering mengitari otak saya jika ingin mempublikasikan sebuah karya. Entah itu di instagram, blog, maupun website. Bahkan sempat ada kalimat candaan yang dilontarkan oleh salah satu kawan saat saya mempublikasikan tulisan:

“Lo kok kalau bikin caption instagram suka panjang-panjang sih? Cari perhatian ke siapa?”

Saya tertegun mendengar kalimat candaan tersebut. Mungkin memang maksudnya hanya melontarkan candaan, namun yang diserap oleh otak saya nyatanya tidak seperti itu. Saya tahu betul, dalam membuat caption panjang tersebut sama sekali tidak ada unsur mencari perhatian pada siapapun. Ya tentu, penulisnya kan saya sendiri. Tapi ternyata lontaran kalimat tersebut agaknya berpengaruh dalam proses berkarya saya. Setidaknya otak saya menanggapi kalimat tersebut sebagai racun, tetapi untunglah tidak sampai tenggelam dalam larutan racun tersebut.
Setelah itu saya berniat menetralisirkan racun tersebut. Saya kupas kalimat ‘cari perhatian’ tersebut dalam pikiran sendiri. Hei, bukankah hal-hal yang sudah kita publikasikan memang berujung pada pencarian perhatian bukan? Saya menulis ini pun, memang untuk mencari perhatian pembaca. Saya sangat senang jika tulisan saya dibaca banyak orang.
Saya terlalu berfokus pada pertanyaan bernada negatif sampai melupakan kalimat pernyataan ataupun pernyataan yang memberikan energi positif seperti;

“Ris kapan nulis lagi? Gue tunggu karya selanjutnya.”

Oke, setidaknya proses kupas kalimat tersebut berhasil menetralisir racun yang menetap di dalam pikiran. Jika ada yang kembali melontarkan kalimat tanya yang sama terkait cari perhatian tersebut, dengan lantang dan percaya diri akan saya jawab:

“Ya, saya mencari perhatian lewat karya-karya yang saya buat sendiri.”

Demikian, case closed. Saya merasa bebas. Bukankah itu tujuan utama dalam berkarya?

Komentar