1.
cara melukiskan suatu benda pada permukaan yang
mendatar sebagaimana yang terlihat oleh mata dengan tiga dimensi (panjang,
lebar, dan tingginya);
2.
Sudut pandang; pandangan;
Dalam hal ini,
saya akan menulis perspektif dalam hal sudut pandang. Saya akan mengambil
beberapa contoh dari postingan saya di insta-story
beberapa waktu yang lalu melalui sistem polling dengan audiens sekitar 200 orang.
POLLING FOTO PERTAMA
Secara tidak
langsing, eh langsung saya menyampaikan pertanyaan dari polling tersebut,
“LEBIH BAIK MANA? LEBIH BAGUS MANA?”
Sebenarnya tidak
ada.
E gimana? Kalau
gak ada ngapain nanya Maliiih??
Hehe, poin saya
bukan itu kok.
Dari hasil
polling tersebut, ada 24% orang yang memilih foto di bawah. Mereka salah? Tentu
tidak. Foto itu seni visual, bebas untuk dinikmati. Kembali lagi, ini hanya
tergantung perspektif setiap individu yang sudah dijelaskan di awal.
Apakah ada
alasan khusus bagi saya untuk memilih foto yang atas? Ada. Bagi saya foto atas
terasa lebih ‘kuat’ dalam hal suasana saat pagi hari, kegiatan manusia yang
berolah raga, kontras warna antara cahaya matahari dan lapangan meski ini foto
hitam putih. Bagi saya nyawa foto di atas lebih kuat, dan tentu lebih saya
sukai. Nah apakah pendapat setiap orang yang memilih foto sama dengan saya
mempunyai pendapat yang juga sama? Oh tentu saja, TIDAK.
Lalu bagaimana
dengan foto di bawah? Kalau menurut saya foto tersebut kesannya lebih santai
dan untuk dinikmati, lebih menenangkan juga.
Jadi apakah
penilaian kita terhadap sesuatu bisa tergantung suasana hati dan kondisi
masing-masing?
Kalau menurut
saya, jelas IYA.
MARI BERALIH KE POLLING FOTO NOMOR DUA
Foto di atas sebenarnya
adalah foto dengan subjek utama yang sama, dengan pengambilan gambar yang
waktunya hanya berbeda beberapa detik saja. Sebenarnya sama dengan foto yang
pertama, hanya soal tempat dan subjek utama.
Kali ini pertanyaannya
adalah mengenai emosi mana yang lebih menonjol dalam foto. Dalam kenyataannya,
sama saja. Sang subjek utama menunjukkan emosi bahagia dan sama-sama tertawa.
Bedanya, yang satu melihat ke arah kamera, yang satu lagi tidak.
Lagi-lagi
polling menunjukkan perbedaan yang cukup besar. Sekitar 72% orang memilih foto
yang bawah. Bagaimana dengan saya sendiri? Untuk pertanyaan kali ini jawaban
pun masih serupa dengan mayoritas pilihan.
Lalu apa tolok
ukurnya? Jawabannya adalah, kembali ke poin awal; perspektif.
POLLING FOTO NOMOR TIGA
Nah, selama saya
jeprat jepret foto apapun, terutama foto dengan tema human interest, dua foto inilah yang menjadi foto favorit saya.
Karena bagi saya, foto ini terasa bercerita.
Foto atas : Dua pria sedang mengisi kekosongan waktunya
dengan bermain catur, berlokasi di pasar tradisonal.
Foto bawah : Tiga
wanita keturunan India, sedang tertawa bersama sambil melihat handphone salah seorang dari mereka.
Entah apa yang
mereka tertawakan, namun saat take
dan melihat hasil fotonya, rasanya saya ingin ikut tertawa. Eh benar loh,
tertawa itu sangat menular. Meski sama sekali tidak saling mengenal dengan si
lawan tawa.
Dalam polling,
saya bertanya manakah foto yang lebih bercerita? Ternyata perbedaan persentasenya
tidak terlalu tinggi. Hanya berbeda 4% saja.
Bagaimana dari
perspektif saya pribadi mengenai foto ini? Mana yang lebih bercerita? Saya juga
pilih foto yang bawah. Buktinya dalam polling kali ini, hasilnya hampir imbang.
Disini saya semakin menyadari jika dalam perspektif
menilai seni, tidak ada yang salah maupun benar apalagi secara mutlak.
Deskripsi dalam
pikiran mengenai cerita dari sebuah foto pun pastinya beragam.
Karena seni,
sangat dekat kaitannya dengan ‘rasa’ masing-masing individu.
POLLING FOTO NOMOR EMPAT
Ini merupakan
polling saya yang terakhir. Saya bertanya mengenai ‘kesan karakter yang kuat’.
Dua foto di
atas, merupakan dua peserta Parade Karnaval Asia Afrika di Bandung beberapa
waktu silam yang sengaja saya ambil secara close
up agar karakter serta emosinya lebih tertangkap.
Persentase mayoritas
pilihan jatuh pada foto yang bawah, sebesar 70%. Untuk kali ini, berbeda dengan
tiga polling lainnya. Saya termasuk dari 30% voter.
Jadi kalau ada
pembicaraan seperti “Eh dia karakternya
kuat ya ternyata….”
Bisa jadi saya berpendapat tidak.
“Eh dia sosok idaman banget yaaa….”
Bisa jadi
menurut saya tidak. Tergantung, dari sisi mana kita melihat.
‘’Eh dia bahagia bahagia ya punya pasangan
mapan, tajir melintir melilit… bla bla bla...’’
Kalau saya..
Yakinlah, proses
pencarian setiap manusia terkait apa yang dibutuhkan maupun diinginkan itu
nyatanya berbeda. Apa yang membuat sama? Kalau menurut saya, doktrin secara sosayeti
yang sudah melekat kuat lah yang membuat mayoritas manusia mempunyai standar
yang sama.
Dari tadi saya
selalu berbicara mengenai persentase. Namun poin dari tulisan saya bukan itu.
Poin yang ingin
saya sampaikan sederhana saja, bahwa; Perspektif/ sudut pandang setiap orang
berbeda. Tidak ada yang dapat atau harus dipaksakan, apalagi dicaci.
Mari hilangkan mindset hanya karena ‘berbeda sedikit’
maka diasingkan, dirundung bahkan dicaci.
Ngomong-ngomong,
tulisan kali ini agak serius ya. Kalau begitu saya qasidahan dulu ah karena
merasa ada yang kurang…
Tapi
jika tulisanku dibaca, ku akan merasa sangat senang karena sudah dapat berbagi 😊
SAMPAI JUMPA DI TULISAN BERIKUTNYA!
Komentar
Posting Komentar